Jumat, 10 April 2015

Posted by Unknown |
KADO TERINDAH

Tidak seperti sungai yang pasti akan membawa air ke muaranya, kita tidak akan pernah tahu pasti kemana hidup akan membawa kita. Inilah hidup. Kita hanya bisa merencanakannya sebaik mungkin, namun Tuhanlah yang berkehendak. Seperti itu pula-lah hidupku.
Namaku Dewi Maharani. Aku lahir dan dibesarkan ditengah-tengah keluarga yang berada. Perusahaan kakekku sangat berjasa dalam membantu kelangsungan hidup kami. Ayahku adalah anak tunggal dari pemilik perusahaan advertising terbesar di Indonesia, jadi tidaklah aneh jika ia sangat dimanja oleh kakekku. Apapun yang ia minta, pasti akan kakekku turuti. Satu hal yang aku benci dari ayahku. Dia membiarkan kakek bekerja sendiri mengurus perusahaan besarnya, bahkan sampai usia kakek yang sudah sangat tua.Ayah tidak pernah mau membantu kakek.
Namun, dibalik itu semua aku bersyukur tak pernah kekurangan kasih sayang dari orang-orang di sekelilingku. Aku tercatat sebagai mahasiswa sastra jepang di salah satu universitas swasta ternama di Bandung. Dan Raja, dia adalah orang yang 2 tahun belakangan ini selalu berada disampingku disaat aku tertawa maupun menangis. Laki-laki muda nan tampan ini adalah anak dari rekan kerja kakekku. Kekasihku ini baru saja diangkat sebagai dokter muda di salah satu rumahsakit ternama di Singapore. Hingga detik ini, aku merasa bahwa hidupku ini sangat sempurna, semua kekayaan, kasih sayang, pangkat, semuanya terasa begitu menyatu dengan hidupku. Aku berharap semuanya takan pernah dan jangan pernah berpaling dariku.
Tapi, harapan hanyalah tinggal harapan. Roda kehidupan harus tetap berputar. Semuanya berubah saat kakekku meninggal. Perusahaan dan seluruh aset kekayaan kakekku resmi diwariskan pada ayahku. Karena ayahku tak pernah terlibat sedikitpun dalam perusahaan kakekku, dia tak tahu apapun tentang perusahaan itu. Akhirnya, dia mengangkat seorang sahabat untuk mengurusi perusahaannya, sementara dia sendiri ? Dia sibuk bersenang-senang dengan uangnya sendiri. Dia mulai enggan pulang ke rumah, tak pernah lagi memberi kecup dan sapa yang hangat di pagi hari untukku dan mama. Dia sibuk dengan urusannya sendiri, sibuk dengan wanita-wanita tak bermoral yang terus menggodanya untuk mendapatkan uangnya.
Entahlah, rasanya aku ingin mati setiap kali melihat ayahku pulang ke rumah dengan membawa wanita yang berbeda setiap harinya. Aku telah berulang kali membujuk mama untuk meminta cerai pada ayahku, tapi mama tak pernah mau. “Mama kasihan padamu, sayang. Mama tak mau teman-temanmu nanti memperolokmu. Biarlah, mama rela diperlakukan seperti ini, asalkan mama tetap bersama kamu”.Selalu itu yang dikatakannya.
Hidup terasa semakin tak berpihak padaku saat aku mendapat kabar bahwa pesawat yang ditumpangi Raja mengalami kecelakaan di Selat Malaka, dan sampai sekarang jasadnya belum juga ditemukan. Hari ini adalah tepat 3 tahun kami resmi menjadi sepasang kekasih, dan hari ini pula tepat aku harus kehilangannya. Kenapa harus aku, Tuhan? Kenapa harus disaat seperti ini? Kenapa harus disaat aku benar-benar membutuhkannya?
Aku ingin mati saja, Ma. Aku tak sanggup lagi menjalani semuanya. Aku tak sanggup, Ma.”
Sabar, sayang. Mama tahu semua ini berat untukmu. Tapi percayalah, tuhan telah menyiapkan kado terindah untukmu, untuk mama, untuk kita. Selalu harus ada harga yang dibayar untuk mendapatkan sesuatu yang indah.”
Tuhan tak adil, Ma. Tuhan mengambil kakek, tuhan mengambil ayah yang aku kenal, dan sekarang, Tuhan mengambil Raja dariku.”
Dan suatu saat nanti, Tuhan akan mengambil mama, Sayang. Tuhan akan memanggilmu juga untuk kembali padanya.”
Ya, omongan mama berhasil membuatku bangkit. Aku sadar, mau tak mau semuanya harus terjadi. Mungkin omongan mama memang benar, mungkin saja tuhan tengah menyiapkan kado terindahnya untukku.
Tiga bulan setelah Raja meninggal, aku berhenti kuliah. Ayahku tak pernah lagi mabuk-mabukan, atau pun membawa wanita-wanita penggoda ke rumah, uangnya habis, perusahaan warisan kakekku bangkrut meninggalkan segudang hutang. Itulah sebabnya aku lebih memilih untuk berhenti kuliah dan membantu mamaku berjualan kue.
Malu? Tentu saja. Dewi Maharani sang putri tunggal pewaris perusahaan advertising terbesar di Indonesia harus berhenti kuliah dan berjualan kue ? Lucu sekali. Tapi mau tak mau ini harus aku lakukan, demi mama, dan demi diriku sendiri.
Suatu hari, ayah datang padaku .
Dewi, kamu sudah besar. Ayah rasa kamu bisa mengerti keadaan keluarga kita sekarang, dan ayah rasa kamulah satu-satunya harapan ayah.”
Ada apa ayah ? Katakan saja.”
Kita punya hutang..”
Ayah. Itu hutang  ayah.” Potongku
Oh ayolah, sebenci itukah kau padaku?”Aku tak menjawab, karena memang pertanyaan seperti itu bukanlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban.
Baiklah. Ayah punya hutang sebesar 7 milyar pada keluarga Wiratmaja. Dan mereka memberi ayah waktu 1 bulan untuk melunasi semuanya. Waktu satu bulan itu akan habis minggu depan.”
“Dan ayah tak mampu melunasinya kan?”
“Dengarkan dulu ayah bicara. Mereka datang kemari minggu lalu. Anak laki-laki mereka, Dion, tanpa sengaja melihatmu dan langsung jatuh cinta padamu.”
Perasaanku mulai tak enak mendengarnya.
“Dia jatuh cinta padamu, dan ingin menikahimu” lanjut ayahku.
“Ayah ingin aku menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak aku kenal ? Bahkan bentuknya pun aku tak pernah lihat sedetikpun.”
“Dia pemuda yang baik, Nak. Dia sangat mencintaimu.”
“Darimana ayah tahu kalau dia mencintaiku? Bahkan ayah pun baru sekali melihatnya.”
Tiba-tiba, mama datang menghampiri kami.
“Terimalah dia, sayang. Mama juga sudah melihatnya. Dia pemuda yang baik. Mama yakin, dia pasti akan menjaga dan mencintaimu sepenuh hati. Selain itu, anggaplah kau sedang membantu ayahmu melunasi hutangnya.”
“Apa maksud mama ? Apa kalian menjualku untuk melunasi hutang-hutang ayah ? Aku tidak mau, Ma. Aku berhak memilih pilihanku sendiri.”
“Ayolah nak, mama mohon. Jika tidak demi ayahmu, anggaplah untuk dirimu sendiri.”
“Jika kau tidak mau menerima lamaran Dion, aku, ibumu, dan kau sendiri, akan terlantar di jalanan.” tambah ayahku.
Oh Tuhan, cobaan apalagi yang harus aku terima. Haruskah aku terima laki-laki yang sama sekali tak aku tahu asal-usulnya? Oh Tuhan, aku tak mau ..
“Baiklah, ini demi mama.” Pasrahku.
Akhirnya, aku menikah dengan laki-laki pilihan ayah dan mama. Aku akui, tampangnya sangat lebih dari cukup, tapi tetap saja hatiku tak pernah mau menerimanya sebagai suamiku.
Sampai satu tahun aku menikah, suamiku itu tak pernah berani menyentuhku. Aku selalu menolak ketika ia meminta berhubungan intim denganku. “Aku belum siap” selalu itu jawabku. Entahlah, rasa sakit hatiku saat aku dipaksa menikah dengannya masih tertanam dan mengakar kuat di dalam hatiku. Yang membuatku heran adalah, dia tak pernah memaksaku. Dia selalu memperlakukanku dengan penuh perhatian dan kasih sayang.
Di depan orangtuaku, kami selalu terlihat seperti keluarga yang bahagia, keluarga yang penuh kasih. Aku tak sanggup melihat mamaku sakit hati ketika mengetahui bahwa anaknya tak bahagia dengan kehidupannya.
“Kapan kalian akan memberikan mama cucu? Mama kesepian sekali di rumah. Mama ingin segera mendengar suara tangisan bayi di rumah.” Tanya mama ketika ia berkunjung ke rumah.
“Do’akan saja ma. Mungkin tuhan belum menghendaki kami menjadi ibu dan ayah”. Jawab suamiku bijak.
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Ada sedikit rasa bersalah dalam hatiku, tapi mau bagaimana lagi. Ego ku masih terlalu tinggi untuk mengakhiri semua sikapku ini.
“Sampai kapan kau akan terus bersikap seperti ini padaku? Apa salahku padamu? Apa sampai aku mati nanti kau akan terus seperti ini padaku? Menganggap aku sebagai tuanmu?” petanyaan suamiku ituterus terngiang-ngiang di telingaku beberapa hari ini.
Setelah hari dimana ia mengucapkan kata-kata itu padaku, dia tak pernah lagi pulang ke rumah. Aku tak tahu kemana dia pergi. Mungkinkah dia mencari kesenangan dengan wanita lain di luar ? Biarlah, dengan begitu setidaknya aku punya alasan untuk meminta cerai padanya.
Suatu malam, rasa sakit yang terasa amat sangat sakit sekali menyerang perutku. Suamiku tak ada di rumah. Tak ada siapapun di sini kecuali aku dan rasa sakitku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menginginkan suamiku ada di sini, disampingku.
“Mas, tolong pulang sekarang”.
“Ada apa, sayang?”
Aku tak sanggup lagi menjawab. Sakit ini terlalu dalam menusuk tubuhku. Aku tak ingat lagi apa yang suamiku katakan. Kesadaranku hilang seketika.
Ketika aku tersadar, tanganku sudah terpasang selang infuse yang mengganggu gerak tanganku.
“Aku dimana, Mas?”
“Kamu di rumahsakit, sayang. Kamu pingsan. Bagaimana keadaanmu sekarang?”
“Entahlah, perutku sakit sekali. Apa yang dokter katakan tentang keadaanku?”
“Ada benjolan kecil di rahimmu. Benjolan itu akan terus menghantuimu jika kau tidak di operasi.”
“..”
“Banyak wanita yang telah menjalani operasi yang sama sepertimu, dan kemungkinan berhasilnya hanya 3 dari 10 kasus”
“aku tak mau di operasi”
“Sayang..”
“AKU TIDAK MAU!!”
“Sayang..”
“Sudah aku bilang aku tidak mau di operasi”
“Bisakah sekali saja kau mendengarku? Aku ini suamimu!”
Aku takut. Aku takut mati, tuhan. Gumamku dalam hati
“Jangan takut mati, sayang. Tuhan akan selalu bersama kita. Aku akan selalu bersamamu.”
DEG!
Apa dia bisa membaca pikiranku?
Tuhan, ada sesuatu yang hangat menjalari hatiku. Dia, dia suamiku Tuhan. Dia yang selalu ada disampingku saat aku butuh. Dia yang selalu melindungiku, Tuhan. Apa sebenarnya yang membutakanku selama ini, Tuhan ?
“Maafkan aku, Mas”. Ekspresi suamiku berubah seketika.
“Maaf untuk apa ?
“Maaf atas semua sikapku selama ini. Maaf atas segala kesalahanku padamu. Maafkan aku yang tidak bisa menjadi istri yang baik untukmu, Mas.”
Dia tersenyum. Suamiku tersenyum padaku, Tuhan. Untuk pertama kalinya aku melihat ketampanan suamiku, ketampanan hatinya.
“Aku mau di operasi, untukmu“.
Ya, aku tak bohong. Aku mulai mencintainya, Tuhan. Kumohon jaga selalu cintaku, jagalah hatiku untuknya. Jagalah selalu suamiku, kado terindahku.


Karya : Nenell

0 komentar:

Posting Komentar